Adik-adik kita lebih mengenal cheese burger-nya Mcd ketimbang jajanan getuk, tiwul ataupun bakpia. Para eksukutif muda lebih memilih meeting di Starbucks ketimbang di warung lesehan. Ditambah para muda-mudi sekarang yang memilih menikmati Pizza dengan keju meleleh di Pizza Hut ketimbang makan rawon buatan Ibu mereka. Nampaknya primordialisme (suatu paradigma yang selalu mengedepankan segala hal yang ia bawa sejak kecil, baik itu tradisi adat, nilai dan sebagainya) sebagai ideologi defensive tak bisa lagi menampakkan taringnya bila berhadapan dengan “macan” globalisasi.
Ketika globalisasi berhasil membiaskan batas-batas territorial, maka yang akan terjadi bukan lagi kompetisi ekonomi, tetapi persaingan kultur yang begitu laten dan halus. Ketika makanan-makanan barat itu mampu menerobos pasaran kita, secara tidak langsung budaya-budaya tempat mereka berasal pastinya ikut masuk juga.
Dengan kata lain saat gula, lemak jenuh dan setumpuk kalori makanan fastfood barat memenuhi perut kita, maka disaat itu pula budaya dan gaya hidup barat memasuki otak kita. Muali dari kecenderungan terhadap makanan asing, cara makan, sampai pada pemilihan tempat makan yang keemuanya membawa kita pada paradigma interior.
Interioritas kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Sehingga terjadang kita rendah dalam menilai makanan lokal, bahkan makanan asli suku kita sendiri. Kaum kapitalis dengan paket Lifestyle modernnya mengaburkan pandangan kita terhadap makanan lokal dan sedikit demi sedikit melupakannya.
Primordialisme tak dapat lagi menjadi tameng, ia bahkan melebur membiarkan si Ronald-nya McDonald dan Kolonel Sanders-nya KFC mengajarkan lambung semua suku di Indonesia mencerna burger dan kentuccky fried chicken.
Hal ini jelas sangat disayangkan sekali, ditengah maraknya “Think globally, act locally” tersebut tak dapat dipahami dengan benar dan sungguh-sungguh. Masuknya beranekaragam makanan non-lokal ke Indonesia pastinya juga tak lepas dari adanya peranan media massa yang ikut andil didalamnya.
Sebelum mengetahui seperti apa sebenarnya antek-antek globalisasi itu, maka terlebih dahulu harus kita ketahui mengapa makanan bisa menjadi salah satu media pendukung lahirnya identitas modernisme global. Gagasan ini semakin jelas jika kita sering menjumpai iklan-iklan di restoran fastfood yang dimuat oleh sejumlah media cetak maupun ditayangkan melalui televise, radio, internet dan sebagainya. Bahkan seringkali telinga kita dijejali tagline-tagline tersebut, yang secara tak langsung tanpa sadar tagline-tagline tersebut telah berubah menjadi bisikan-bisikan yang mendorong kita untuk terus mempercayai bahwa semua fastfood tidak mengenal perbedaan.
Bagaimana dengan nasib makanan tradisional? Kue-kue tradisional (gethuk, cenil, thiwul, madu mongso, rondo royal, kue cucur, dll) yang dulu jajanan tersebut dengan mudah dapat didapat, kini tergusur oleh tempura-tempura, creaps, kebab, pizza mini dan makanan-makanan instan lainnya. Makanan tradisional sekarang hanyalah menjadi jajanan pasar yang murahan, sulit ditemukan, bahkan seringkali dianggap tidak higienis dan kuno. Mereka sudah kalah popular dengan Mcd, KFC, Hoka-hoka Bento, Pizza Hut, J-CO, Sushi, dan makanan frenchise lainnya yang berjajar di sepanjang jalan dan mall-mall.
Menghampiri, membius, merayu, dan membisik dalam kemasan yang manis serta mewah yang menawarkan gaya hidup modern. Melibas identitas, lokalitas makanan kita. Siapkah kita kehilangan selera lokal demi taste global?
Bila keadaan seperti ini kanaterus berkelanjutan maka bisa jadi Negara Indonesia yang statusnya telah merdeka, lambat laun tak sadar kita akan dijajah kembali dengan pola kehidupan masyarakat modern yang konsumtif akan produk-produk makanan asing tersebut.
Laras Gilang Pamekar
153070347 (OPINI)
0 komentar:
Posting Komentar