Layaknya seorang seniman yang selalu memunculkan karya-karya barunya, salah satu perupa kelahiran Kulon Progo 19 Agustus 1982 ini mampu mampu membuat suatu karya dalam dunia seni rupa dengan cara yang berbeda.
     Ariswan Adhitama, seorang penggrafis muda yang mampu memproduksi karya monoprint. Ia mampu untuk mengembangkan cara pendekatan visual, gaya, dan tema-tema yang senyawa dengan pikiran serta orientasi seni paradoksal. Figure-figur karya grafisnya adalah sosok robotic seperti “golek-golek” transformer, yang sepintas tak berkait dengan lingkungan geografis dan suasana lingkungan sosio-cultural dimana ia tinggal dan berkarya. Studionya berada di sebuah bangunan dalam lingkungan rumah orang tuanya yang terletak di dusun Beteng, Desa Jatimulyo, Kecamatan Gimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta.
     M. Dwi Marianto, melihat bahwsanya potensi dan bakat Ariswan baru termanifestasi secara komperhensif ketika ia belajar dan berkarya seni grafis. Khususnya ketika ia diberi peluang untuk eksplorasi dan mengaktualisasi diri melalui karya seni.
     “Melalui bahasa grafis, ia tuangkan meori-memori visual yang berkait dengan berbagai aktifitas atau pengalaman yang dilaluinya. Namun, yang paling utama ia mampu menyatakan imajinasi-imajinasinya tentang ‘dunia’ yang selalu dalam perhatian Arswan,” ujarnya.
     Sejauh ini Ariswan telah menghadirkan karakter-karakter robotik dengan garis yang begitu nyata jelas dalam berbagai karya grafisnya. Ukurannya karya grafisnya relative besar disbanding dengan karya-karya grafis umumnya.
     “Ekstrim! Bahkan waktu mengadakan pameran di Bentara Budaya Yogyakarta awal Desember kemarin, ia mampu menghadirkan karyanya yang salah satu sisinya berukuran 7 meter. Dari aspek ukuran fisik telah membuat rekor baru sebagai karya monoprint terbesar” tutur Dwi yang juga sebagai salah satu Dosen pengajar di ISI Yogyakarta ini.
     Melaui figure-figur robotik nya itu, ia menyatakan dirinya merepresentasi pembayangan dirinya di tengah situasi-situasi yang sangat jhas, atau lebih tepatnya melukiskan keadaan pikirannya dalam 1 waktu. Sebagai contoh, karyanya yang berjudul “Police Shot Them”, 2010 berukuran 165x145cm², melukiskan sejumlah figure robotik yang tergambarkan dalam suatu daerah atau wilayah konflik. Dimana terjadi situasi tembak-menembak di depan suatu latar belakang berupa dinding cadas yang yang wujudnya disesuaikan dengan figure-figur robotik di latar tengah dan belakang.
     “Terkesan situasi panik, rebut, suasana gemuruh dengan tanda-tanda letupan di sana-sini, dan gerakan sentryfugal dari figure yang berlarian. Secara keseluruhan karya itu berwarna-warni, mencerminkan aneka benturan dan ledakan,” cerita Dwi.
     Karya tersebut tentu saja mewadahi ide dan rasa tertantu yang mau disampaikan oleh Arswan, dan pembacaan atas karya-karyanya bisa dilakukan dengan berbagai sudut pandang secara relative.
     “Namun yang pasti, bahwa didalam satu kurun waktu panjang di tahun 2010, ketika karya ini dibuat, memang terjadi berbagai kemelut dan kontroversi didalam lembaga kepolisian negara dan yang berkaitan dengan pola kepemimpinan lembaga ini. Setiap orang dapat memaknai seperti apa saja itu bebas,” lanjutnya.

Tehnik Monoprint
     Seni grafis adalah minat Ariswan, sekaligus alatnya untuk membuktikan pada dunia bahwa ia bisa. Keterampilan dan ketekunannya selama menjalani pendidikan stufi di kampus ISI Yogyakarta, jelas membuahkan hasil yang tampak pada karya-karya cetak cukul kayunya yang terlihat prima dan memiliki kualitas yang bagus.
     Penerapam sebuah tehnik monoprint, yakni tehnik cetak yang hanya bisa dipergunakan 1 kali saja dan setelah itu tidak dipergunakannya lagi dilakoninya dengan sangat telaten.tehnik monoprint juga merupakan sebuah tehnik cetak yang menggabungkan antara media printmaking, painting, dan drawing.
     “Ia melakukan drawing dan sketsa langsung ke atas papan yang nantinya akan di cukil. Ariswan memilih menggunakan tehnik cukil kayu yang telah dikuasainya ini untuk tehnik monoprintnya,” ujar Fery Octania yang pernah menjadi kurator pameran tunggal Airswan Adhitama yang bertajuk In Repair itu.
     Setelah dicukil, Ariswan memakai tehnik pewarnaan monochrome untuk melakukan cetakan pertamanya ke atas canvas. Cetakan pertama akan memberikan arah bagi pewarnaan yang akan dilakykan denga tehnik painting, memakai kuas dan cat. Setelah selesai barulah dilakukan kembali pencetakkan grafis, yang nantinya kan memberikan penegasan yang bersifat outline kepada bentuk yang dibuat sebelumnya.
     “Metode seperti ini terbukti memberikan kelekuasaan bagi Ariswan untuk melakukan eksperimen dalam menggunakan warna dan kemungkinan dimensional terhadap bentuk-bentuk yang dihasilkan di cetakkan cukil kayunya. Hasilnya luar biasa,” sambung Fery.

Laras Gilang Pamekar
 153070347

(Feature)

0 komentar:

Posting Komentar

About